Beranda | Artikel
Hadis Allah Menghalangi Tobat Pelaku Bidah
Jumat, 28 Oktober 2022

Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath (4202), beliau berkata,

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْفَرْغَانِيُّ قَالَ: نا هَارُونُ بْنُ مُوسَى الْفَرْوِيُّ قَالَ: نا أَبُو ضَمْرَةَ أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ»

Ali bin Abdullah Al-Farghani menuturkan kepadaku, ia berkata, Harun bin Musa Al-Farwi telah menuturkan kepadaku, Abu Dhamrah Anas bin ‘Iyadh telah menuturkan kepadaku, dari Humaid bin Ath-Thawil, dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah menghalangi tobat dari setiap pelaku bid’ah.”

Demikian juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (9011) dan Al-Harawi dalam Dzammul Kalam (5/153) dengan sanad yang berporos pada Harun bin Musa.

Adapun rincian kualitas perawi hadis di atas adalah sebagai berikut:

Pertama: Harun bin Musa Al-Farwi.

Dikatakan oleh Ad-Daruquthni, ”Ia tsiqah, dan ayahnya juga tsiqah.” Abu Hatim mengatakan, “Ia adalah Syekh.” Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat. Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia shaduq.” Ibnu Hajar mengatakan, “Laa ba’sa bihi.” Dari sini bisa disimpulkan bahwa Harun bin Musa adalah perawi yang tsiqah.

Kedua: Abu Dhamrah Anas bin ‘Iyadh.

Ibnu Hajar mengatakan, “Ia tsiqah.” Yahya bin Ma’in mengatakan, “Ia tsiqah.” Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia tsiqah dan sangat pemurah dengan ilmunya.” Ali bin Madini mengatakan, “Ia penduduk Madinah, dan menurut kami ia tsiqah.”

Ketiga: Humaid bin Abi Humaid Ath-Thawil.

Ibnu Hajar berkata, “Ia masyhur dikenal sebagai perawi tsiqah yang digunakan sebagai hujjah, namun terkadang melakukan tadlis terhadap hadisnya Anas.” Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia tsiqah, namun melakukan tadlis dari Anas.” Al-Bukhari mengatakan, “Terkadang ia melakukan tadlis.” Yahya bin Ma’in berkata, “Ia tsiqah.”

Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dan para perawinya adalah perawi Ash-Shahih, kecuali Harun bin Musa. Namun, ia adalah perawi yang tsiqah.” (Majma’ Az-Zawaid, 10/189). Semua perawi hadis ini tsiqah, hanya saja yang menjadi masalah dalam riwayat ini, Humaid dikenal melakukan tadlis terhadap hadisnya Anas. Dan hadis ini diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’ anhu.

Terdapat syahid untuk hadis ini, yaitu dari hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (50),

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مَنْصُورٍ الْحَنَّاطُ، عَنْ أَبِي زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ»

Abdullah bin Sa’id menuturkan kepada kami, ia berkata, Bisyr bin Manshur Al-Hannath menuturkan kepada kami, dari Abu Zaid, dari Abul Mughirah, dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’ anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Ta’ala enggan menerima amalan dari pelaku bid’ah sampai ia bertobat.”

Baca Juga: Bantahan Telak Bagi Pelaku Bid’ah

Bisyr bin Manshur dan Abu Zaid adalah perawi yang majhul. Adapun Abul Mughirah Al-Qawwas di-tsiqah-kan oleh Ibnu Ma’in. Sehingga riwayat ini bisa menjadi syahid untuk riwayat dari Anas bin Malik di atas.

Terdapat jalan lain, diriwayatkan Ishaq bin Rahuwaih dalam Musnad-nya (398), beliau berkata,

أَخْبَرَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ الْقُشَيْرِيُّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَنَسٍ، يَرْفَعُهُ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ، عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ»

Baqiyyah bin Al-Walid telah menyampaikan kepadaku, Muhammad bin Al-Qusyairi telah menuturkan kepadaku, dari Humaid bin Al-‘Ala dari Anas, secara marfu, “Sesungguhnya Allah menghalangi tobat dari pelaku semua kebid’ahan.”

Rincian kualitas perawi hadis di atas adalah sebagai berikut:

Pertama: Baqiyyah bin Al-Walid.

Dikatakan oleh Abu Bakar Al-Baihaqi, “Para ulama sepakat bahwa Baqiyyah bukan hujjah.” Abu Hatim berkata, “Ia ditulis hadisnya, namun tidak menjadi hujjah.” Ibnu Hajar mengatakan, “Shaduq, banyak melakukan tadlis dari perawi lemah.”

Kedua: Muhammad bin Abdirrahman Al-Qusyairi.

Ibnu Hajar mengatakan, “Para ulama menganggap dia pendusta.” Abu Hatim berkata, “Ia matrukul hadits, bahkan terhadap memalsukan hadits.” Ad-Daruquthni berkata, “Majhul, matrukul hadits.

Ketiga: Humaid bin Al-Ala, Abu Hatim Ar-Razi berkata, “Ia shalihul hadits.” Al-Azdi mengatakan, “Tidah sahih hadisnya.”

Sehingga riwayat adalah riwayat yang parah kelemahannya tidak bisa menjadi mutaba’ah terhadap riwayat yang pertama (dari Ath-Thabarani). Namun, riwayat Ibnu Abbas di atas sudah bisa menjadi syahid bagi riwayat dari Anas bin Malik. Sehingga hadis ini minimalnya hasan.

Al-Mundziri dalam At-Targhib wat-Tarhib, menyebutkan hadis ini,

وَعَن أنس بن مَالك رَضِي الله عَنهُ قَالَ قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم إِن الله حجب التَّوْبَة عَن كل صَاحب بِدعَة حَتَّى يدع بدعته

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah menghalangi tobat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya.”

Kemudian Al-Mundziri mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan sanadnya hasan. Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah dari hadisnya Ibnu Abbas.” (At-Targhib wat-Tarhib, 1/45 – 46)

Baca Juga:Menjelaskan Bid’ah Bukan Berarti Memvonis Neraka

Yang menarik di sini, Al-Mundziri menyebutkan tambahan “sampai ia meninggalkan bid’ahnya.” Kemungkinan Al-Mundziri menyebutkan lafaz dari manuskrip Mu’jam Al-Ausath yang lain, atau beliau menggabungkan riwayat Anas dan riwayat Ibnu Abbas.

Selain oleh Al-Mundziri, hadis ini juga dihasankan oleh As-Safarini dalam Lawa’ih Al-Anwar (1/203). Dan bahkan disahihkan oleh Al-Haitami dalam Az-Zawajir (1/99), juga oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (54).

Makna Hadis

Sebagian ulama seperti Adz-Dzahabi menganggap hadis ini mungkar. Karena menurut beliau ada kelemahan dalam sanadnya dan maknanya bertentangan dengan dalil-dalil lain yang menunjukkan diterima tobat pelaku dosa. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki.” (QS. An Nisa: 4)

Ayat ini menunjukkan semua dosa selain syirik pasti akan diampuni oleh Allah walaupun ia mati dalam keadaan belum bertobat. Apalagi jika pelakunya bertobat sebelum matinya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ ، وَبِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ

“Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima tobat dari hamba yang bermaksiat di siang hari. Dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima tobat dari hamba yang bermaksiat di malam hari.” (HR. Muslim no. 7165)

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لمَ ْيُغَرْغِرْ

“Sungguh Allah menerima tobat hamba-Nya selama belum yu-ghor-ghir.” (HR. At-Tirmidzi no. 3880. Ia berkata, “Hadis ini hasan gharib.” Di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Adapun mengenai kelemahan hadis ini, telah kami jelaskan di atas, dan kesimpulannya hadis ini hasan. Sehingga sebagian ulama memang berdalil dengan hadis ini untuk mengatakan bahwa pelaku bid’ah (yang mendakwahkan ke-bid’ah-an) tidak diterima tobatnya.

Adapun klaim mungkar dari sisi makna, sebagaimana diklaim oleh Adz-Dzahabi, ini dijelaskan sebagian ulama bahwa pelaku bid’ah tetap bisa diterima tobatnya karena hadis merupakan wa’id (ancaman), bukan berarti menutup peluang diterimanya tobat. Sehingga hadis ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain.

As-Safarini rahimahullah dalam kitab Ghiza’ul Albab mengatakan,

“Ibnu Aqil dalam kitab Al-Irsyad mengatakan bahwa jika pelaku bid’ah mendakwahkan bid’ah-nya kemudian ia menyesal atas apa yang ia lakukan, tapi sudah banyak orang yang sesat melalui sebabnya, negeri terpecah belah, banyak orang meninggal, maka tobatnya tetap diterima selama ia memenuhi syarat-syarat tobat. Allah tetap mungkin akan mengampuni dan menerima tobatnya. Dan Allah akan hapuskan dosa-dosa orang yang telah ia sesatkan. Allah merahmatinya dan merahmati mereka. Ini pendapat mayoritas ulama.

Berbeda dengan pendapat sebagian ulama dari murid-murid Imam Ahmad, di antaranya Abu Ishaq bin Syaqila, demikian juga pendapat Ar-Rabi’ bin Nafi’, yaitu bahwasanya pelaku bid’ah tidak diterima tobatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau menguatkan pendapat yang mengatakan diterimanya tobat pelaku bid’ah sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan hadis.

Adapun makna hadis, dikatakan oleh Al-Qadhi, ‘Pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ‘Sungguh Allah menghalangi tobat dari setiap pelaku bid’ah.’ Dihalangi tobat dalam hadis ini, apa maknanya? Imam Ahmad menjawab. ‘Maknanya ia tidak mendapat taufik, tidak dimudahkan untuk bertobat.’ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Karena keyakinan bid’ah yang ada padanya, membuat ia tidak bisa melihat secara sempurna pada dalil yang bertentangan dengan keyakinannya. Sehingga ia tidak mengetahui kebenaran.

Oleh karena itulah, para salaf dahulu mengatakan, ‘Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat.’ Abu Ayyub As-Sijistasni dan ulama yang lain mengatakan, ‘Ahlul bid’ah sulit untuk kembali.’ Beliau juga mengatakan, ‘Keyakinan bid’ah yang telah lama bercokol dalam hatinya dan telah lama ia ketahui, membuat ia terhalangi dari tobat. Sehingga membutuhkan pengetahuan, ilmu, dan dalil yang kadarnya semisal itu (agar bertobat).`” (Ghiza’ul Albab, 2/456)

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga menjelaskan,

فهو من باب الوعيد والتحذير نسأل الله العافية مثل ما قال ﷺ في المدينة: من أحدث فيها حدثا أو آوى محدثا فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل الله منه صرفا ولا عدلا هذا من باب الوعيد وإلا فمن تاب تاب الله عليه.

Hadis ini termasuk dalam bab wa’id (ancaman) dan tahdzir (peringatan), semoga Allah Ta’ala menyelamatkan kita. Ini semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kota Madinah, “Siapa yang membuat bid’ah di Madinah, atau membela pelaku bid’ah di Madinah, maka baginya laknat Allah, laknat Malaikat, dan laknat seluruh manusia, tidak diterima semua amal ibadahnya.” Ini juga berupa ancaman. Namun, Allah tetap akan menerima tobatnya pelaku bid’ah yang bertobat. (Syarah Fadhlul Islam)

Sebagaimana kaidah dalam bab wa’id, bahwa pelaku perbuatan yang diancam ia bisa jadi diazab neraka karena sebab amalan tersebut. Namun, bisa jadi ia terhalangi dari azab karena adanya tobat atau adanya uzur. Syekh Ibnu Baz contohkan pelaku bid’ah di kota Madinah, bukan berarti pasti semua pelaku bid’ah di kota Madinah terkena laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Namun, mereka diancam mendapatkan laknat, kecuali ada uzur seperti jahil atau pelakunya bertobat.

Syekh Shalih bin Abdillah Al-Ushaimi hafizhahullah juga menjelaskan, “Betapa beracunnya dan betapa bahayanya bid’ah terhadap pelakunya. Yaitu Allah Ta’ala menghalangi tobatnya pelaku bid’ah, sehingga ia tidak berkeinginan untuk bertobat. Bukan maksudnya pelaku bid’ah itu tidak diterima tobatnya. Namun, maksudnya sangat sulit bagi mereka untuk bertobat. Karena keburukan bid’ah dan hawa nafsu itu menempel kuat di hati, sehingga hampir-hampir pelakunya enggan untuk bertobat.” (Syarah Fadhlul Islam, hal. 51)

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita semua dari segala bentuk ke-bid’ah-an.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Baca Juga:

 ***

Penulis: Yulian Purnama


Artikel asli: https://muslim.or.id/79889-hadits-allah-menghalangi-taubat-pelaku-bidah.html